Rabu, 17 Desember 2008

tugas agama

Salat Bilingual; Haruskah Menjadi Kontroversi?

Ditulis oleh Pesantren Besuk, Pasuruan

Dalam edisi 16 Mei 2005 M media cetak SURYA halaman 03 rubrik NASIONAL memuat bahwa di pondok I'tikaf Jama'ah ngaji lelaki Jl. Sumber Waras Timur Kecamatan Lawang Kabupaten Malang pimpinan bapak M. Yusman Roy (seorang mu'allaf yang mulai mendalami ajarannya sejak 1997) telah lama melakukan praktek sholat Bilingual (Arab-Indonesia) dengan tujuan agar bacaan imam dalam sholat berjama'ah dapat dipahami oleh para ma'mumnya dengan berpedoman pada QS. Ibrohim (14:4) beliau dan para pengikutnya melakukan sholat dengan membaca fatihah sebagaimana biasa kemudian dilanjutkan dengan membaca terjemahnya dalam bahasa Indonesia. Kasus ini mendapat tanggapan KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur) menurut beliau. Sholat dengan bahasa non Arab secara Fiqh diperbolehkan. Yang harus berbahasa Arab itu hanya al-Qur'annya saja sedangkan sholatnya sendiri tidak ada keharusan berbahasa Arab. Kecuali apabila memang total keseluruhan berbahasa non Arab. Tak kalah menariknya sebelum Gus Dur berpendapat ternyata MUI telah menegaskan bahwa sholatnya M. Yusman Roy Dkk. Adalah ajaran sesat yang ternyata juga senada dengan komentar KH. Said Aqil Siradj (ketua PBNU) yang menilai bahwa cara sholat yang demikian adalah melanggar al-Qur'an karena hal itu bersifat qoth'iy sebagaimana tata cara dalam haji dan beberapa ritual Islam lainnya.

Komentar

Seperti yang kita ketahui bahwa rukun shalat ada tiga belas yakni, niat, berdiri jika mampu dan mengadap kiblat, takbirat al-ihram dengan membaca Allah akbar, membaca al-Fatihah, rukuk, I’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tahiyat akhir, membaca tasyahud (dua kalimat shahadat), membaca shalawat atas nabi, salam, dan tartib.

Dari ketiga belas rukun tersebut, yang berupa bacaan adalah takbirat al-ihram, al-Fatihah, tashahud dalam tahiyat, shalawat dan salam. Adapun ucapan dalam bentuk doa dan zikir terdapat pada waktu iftitah, rukuk, I’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud, dan doa sebelum salam semuanya bukan rukun shalat. Bacaan-bacaan tersebut hanya sunnah, yang bahkan boleh tidak dibacakan. Sebagaimana yang dikemukakan diatas bacaan-bacaan yang demikian dan berbagai doa tambahan dalam shalat, dalam pelaksanaan sholat boleh diucapkan bukan dalam bahasa arab, atau diganti dengan bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia atau bahasa lokal.

Terdapat salah satu hadist yang perlu dipertimbangkan dalam membicarakan masalah ini. Pada suatu hadist Imam Muslim, dikatakan Rasulullah bahwa setiap orang shalat sebelum menutup shalatnya dengan salam hendaklah berdoa kepada Allah tentang masalah hidupnya sehari-hari kemudian baru menutup shalatnya. Lalu salman al-Farisi bertanya kepada Rasululah apakah diperbolehkan jika dalam doa sebelum salam itu memakai bahasanya sendiri, yakni dalam bahasa Persia? Lalu Rasulullah menyatakan boleh serta mengijinkan Salman Alfarisi berdoa denga bahasa Persia dalam sholatnya.

Perdebatan soal bahasa yang digunakan dalam shalat, sebenarnya bukan masalah yang tidak ada referensi sejarahnya. Menjadi agak mengherankan ketika Ustadz Roy mendadak diamankan oleh pihak kepolisian, karena melaksanakan salat dengan bahasa Arab dan Indonesia. Jika kita mengaca sejarah, kita akan melihat perdebatan sengit antara Imam Abu Hanifah yang berasal dari Parsi dan Imam Syafi’i yang berasal dari Arab keturunan Quraisy. Imam Syafi’i adalah orang yang sangat kuat berpandangan bahwa membaca al-Fatihah (dalam salat) dengan menggunakan bahasa Arab merupakan kewajiban. Orang yang tidak melakukannya, salatnya tidak sah. Sementara Abu Hanifah memperbolehkan membaca al-Fatihah dalam bahasa Parsi atau bahasa non-Arab lainnya, bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab.

Imam Abu Hanifah tidak peduli apakah mushally (orang yang shalat) benar-benar tidak bisa berbahasa Arab atau sengaja tidak berbahasa Arab. Ia mengatakan bahwa salat orang yang demikian tetap dinilai sah. .

Jadi, salat yang dipraktekkan Ustadz Roy sebenarnya bukan tanpa referensi. Lalu kenapa ini dianggap sesat? Apakah kita juga akan menganggap sesat ajaran Imam Abu Hanifah karena memperbolehkan salat (membaca al-fatihah) dengan bahasa ‘ajam? Padahal beliau adalah Imam madzhab yang cukup brilian dalam mengeksplorasi produk pemikirannya.

Apa yang membuat umat Islam menjadi berang akibat “ulah” Ustadz Roy adalah karena begitu kuatnya nalar arabisme menghunjam pemikiran umat Islam Indonesia saat ini. Semua hal yang berbau Arab dianggap sebagai Islam itu sendiri. Padahal yang Arab belum tentu Islam. Di sinilah megaproyek Muhammed Abed al-Jabiry tentang Kritik Nalar Arab (Naqd al-‘aqli al-‘Arabiy) mendapat signifikansinya. Artinya, kita harus bisa memisahkan mana unsur universal dan partikular dari Islam. Shalat dalam hal ini memang menjadi ketentuan yang pasti dari Tuhan (qath’iy). Tetapi ihwal praktek dan tatacara peribadatannya, termasuk doa yang ada di dalamnya adalah sepenuhnya konstruksi fuqaha. Wajar jika kemudian banyak perbedaan dalam hal ini.

Kalau yang dijadikan alasan adalah bahwa al-Quaran berbahasa Arab, dan tidak ada ayat serta hadist yang menyatakan kebolehan melaksanakan shalatnya dengan bahasa selain arab maka ketidakadaan ayat tersebut sama saja dengan tidak dapat diperolehnya ayat serta hadist yang mengharuskan shalat dengan bahasa Arab. Juga tidak tidak ditemukan ayat atau hadist yang menyatakan larangan shalat atau beribadah dengan memakai bahasa daerah masing masing.

Jadi tampaknya keyakinan bahwa shalat harus dengan bahasa Arab, sebagaimana selama ini diyakini, disebabkan hanya karena tradisi shalat sejak awal adalah dengan bahasa Arab, padahal ini bukan perintah, namun secara kebetulan Islam pertama kali hadir pada lingkungan yang memakai bahasa Arab. Mungkin persoalanya akan lain, jika seandainya Rasulullah diutus diluar daerah yang memiliki bahasa yang bukan bahasa Arab. Tentulah bahasa Islam bukan bahasa Arab, dan tentulah shalatnya juga bukan dalam bahasa Arab. Maka sudah waktunya untuk membedakan antara isi ajaran Islam dengan Arabisme, Toh, Islam lokal tidaklah lebih kurang absahnya dengan Islam Arab.Umat Islam Indonesia mungkin tidak harus kebakaran jenggot ketika melihat praktek salat Ustadz Roy. Karena pasti Rasulullah akan melaksanakan shalat dimana bacaannya adalah ujaran yang dipahami kaumnya. Rasulullah barangkali akan melaksanakan salat persis seperti yang dilakukan Ustadz Roy.

Bagi saya, penangkapan Ustadz Roy adalah salah satu bentuk intervensi negara terhadap agama. Jika kita berkomitmen bahwa beragama dan beribadat menurut kepercayaannya adalah urusan privat, maka sesungguhnya penangkapan terhadap Ustadz Roy adalah bentuk pelanggaran terhadap hak beragama. Wallah hu’alam

Refrensi :

http://www.pesantrenvirtual.com

profile

Edi Junaedi